DonkeyMails.com: No Minimum Payout

Jumat, 24 Juli 2009

Senandung Hati (A Song without Words)

Maria tertegun membaca pesan pada secarik kertas yang diterima dari rekan kerjanya. Ia tahu siapa pengirimnya. Hatinya galau karena semalaman ia tidak bisa tidur karenanya. Pagi ini sebenarnya ia masih mengantuk.

"Siap-siap, ya" sela rekannya. "Sepuluh menit lagi kita siaran."

Dia tidak tahu, apakah harus berterima kasih atas kemajuan teknologi, berterima kasih kepada sang ‘pencipta' facebook, yang telah mempertemukan kembali dengan seseorang yang pernah singgah di hatinya, duapuluh tahun yang lalu.

Tidak ada yang istimewa pada pria itu. Ia pendiam, tidak banyak bicara, bahkan cenderung misterius. Tatapannya yang tajam membuatnya takut untuk berakrab ria dengannya. Tapi saat itu ia justru penasaran padanya. Masa duapuluh tahun tidak bisa menghapus segala ingatan tentangnya. Semuanya seperti diangkat ke permukaan kembali. Dan yang mengherankan, walaupun tampaknya acuk tak acuh, ternyata ia seorang yang penuh perhatian. Pada kontak pertamanya melalui facebook dan kemudian dengan SMS, ia masih mengingat minat, selera dan kebiasaan yang ada pada dirinya.

"Kamu masih suka memutar-mutarkan pena saat jeda menulis ya?" demikian tulisnya dalam SMS setelah saling bertukar nomor handphone. Dan pertanyaan itu membuat Maria heran dan takjub ternyata ia masih mengingat hal-hal kecil pada dirinya, yang hingga saat ini masih dilakukannya. Ia yang acuh tak acuh ternyata seorang pemerhati yang jeli.

Sayang sekali, masa itu telah lewat. ia sudah menikah dan memiliki dua orang putri. Sedangkan, Anselmus - demikianlah namanya - masih seorang diri karena keputusannya sendiri.

"Hai, Maria! Koq malah melamun. Ayo masuk. Lima menit lagi kita siaran," suara Uya mengejutkannya. Ia adalah operator musik yang selalu menemaninya saat siaran.

"Putarkan dulu musik pengantar dan theme radio kita. Sebentar saya masuk," sahutnya.

Sudah sejak lama Maria bekerja sebagai penyiar radio. Beberapa kali ia berpindah-pindah sebelum akhirnya kerasan bekerja di stasiun radio ini. Radio KJM, Komunitas Jakarta Mandiri. Sebuah radio yang mengangkat isu-isu seputar keluarga dan pendidikan.

Ia masuk ke ruang studio. Alunan James dari Billy Joel lembut terdengar,. Lagu itu merupakan favoritnya sejak SMA. Sebuah lagu yang menggambarkan persahabatan sejati yang tidak lekang oleh waktu dan jarak. Properti siar sudah siap. Ia melihat Uya memberi kode padanya untuk segera menggunakan headphone dan mulai siaran. Ia segera melakukan ritual rutinnya, menggunakan alat tersebut, berdoa dalam hati lalu bersiap untuk siaran.

"Selamat pagi Jakarta... disini, penyiar KJM Radio, Maria, seperti biasa menemani Anda semua untuk membahas isue-isue seputar dunia keluarga dan pendidikan. Topik kita kali ini adalah... "

Pada saat yang sama, di pinggiran kota, seorang pria menghentikan pekerjaannya mendengar suara merdu sang penyiar. Ia mengenali pemilik suara itu. Seseorang yang pernah secara diam-diam ia kagumi duapuluh tahun yang lalu. Acuh tak acuh, cenderung tomboy, tapi terus mengganggu pikirannya. Tiba-tiba ia merasakan jantungnya berdebar.

Wanita itulah yang membuatnya tidak bisa tidur semalam, sejak kontak pertamanya via facebook. Terbayang masa-masa lalu saat bersamanya di kampus. Kuliah dan mengikuti segala macam kegiatan dan berbagai lomba yang diadakan almamaternya. Suasana canda dan tawa ria yang pernah ada kembali terbayang di benaknya.

Dan yang mengherankan, ia yang tampaknya acuh tak acuh ternyata mengingat segala sesuatu tentang dirinya. Dan komentar yang menarik darinya adalah, dulu kamu itu misterius tapi sekarang religius.

Ia teringat apa yang dilakukannya malam tadi, diambilnya gitar di sudut kamarnya. Selain doa, gitar inilah yang setia menemani di kala hatinya sedang gundah. Telah banyak lagu yang digubahnya dengan bantuan gitar kesayangnnya itu.

Perlahan dan penuh perasaan dipetiknya gitar itu. Dimainkan dawai gitarnya tanpa arah. Ia tidak berniat menulis sebuah lagu namun petikan dan permainan jari-jarinya terlanjur membentuk suatu rangkaian nada-nada, yang mengalun di kesunyian malam itu. Ia tertegun mendengarkan alunan nada-nada tersebut.

Tiba-tiba sebuah ide muncul dibenaknya. Ia mengambil sebuah alat perekam untuk mengabadikan permainannya. Lalu mengeditnya dalam komputer untuk menghilangkan suara desisnya. Kemudian mengirimkan lagu tersebut ke radio KJM dimana Maria berkerja via email dengan pesan singkat.

Entah perasaan apa yang berkecamuk malam tadi. Tapi ia bisa merasakan perasaan itu mulai tumbuh kembali. Mengapa aku harus membiarkannya tumbuh kembali, pikirnya, setelah sebelumnya membiarkannya mati. Segala sesuatu tidak bisa diubah kini. Ia tidak mau merusak yang sudah ada. Membuat segalanya menjadi rumit.

Ia masih memiliki rasa itu, suatu karunia yang membuatnya lengkap sebagai manusia, memiliki perasaan untuk mencintai dan dicintai, tapi ia harus realisitis. Ia sudah mengambil keputusan.

"Ya Bapa, berilah aku kekuatan untuk dapat mengubah apa yang dapat kuubah dan menerima segala sesuatu yang tidak dapat diubah. Berilah aku kekuatan untuk menjalankan apa yang kuputuskan dalam hidupku. Berilah aku kekuatan untuk merelakan segala sesuatu yang tidak bisa kuraih karena aku percaya bahwa Engkau telah memberikan yang terbaik bagiku." Doanya.

***

"... Sebelum kita masuk dalam pembahasan topik kita hari ini..., " Suara lembut di radio. "Mari sejenak kita dengarkan suatu permainan gitar kiriman seorang pendengar yang kami terima dini hari tadi. Lagu ini dikirimkan untuk semua pendengar, khususnya bagi seseorang berinisial ‘M'..." suaranya bergetar. "... berjudul Senandung Hati, Sebuah lagu tanpa lirik[1], teriring salam dari sahabat masa lampau. Selamat mendengarkan!"

Anselmus gembira saat lagu itu diperdengarkan. Ia tahu bahwa Maria Suciati mengerti bahwa lagu itu ditujukan baginya. Lagu itu merupakan persembahan baginya setelah perpisahan yang begitu lama. Hanya itu, tidak lebih.

Tok! Tok! Tok! Terdengar suara ketukan di pintu kamarnya. "Selamat Pagi...! Pastor Ansel dipanggil Pastor Dominikus" terdengar suara di balik pintu.

Ia mematikan komputernya. Materi kotbah untuk misa sore nanti sudah selesai.

"Ya, sebentar" sahutnya bergegas hendak menemui sang pastor. Namun ternyata Pastor kepala itu sudah ada di depan pintu kamarnya

"Pastor Ansel, tadi saya mendengar permainan gitar yang terdengar di radio, sama persis dengan yang dimainkan oleh pastor, semalam," logat Bataknya kental. "...Saya juga mendengar pesan yang disampaikan oleh sang penyiar itu."

"M itu, siapakah?...Wanitakah?"

"Romo! Sedang jatuh cintakah?"

Bekasi, Medio April 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KOMPAS.com

Usaha Sampingan

Semakin banyak yang perduli semakin banyak yang terbantu

Solidaritas Kebersamaan